Girab-Girab

- Jurnalis

Minggu, 26 April 2020 - 15:27 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

KABAR duka yang disiarkan lewat toa masjid, belakangan ini kian sering terdengar.

Dua minggu ini, sudah ada delapan kematian. Biasanya, kabar yang menyita pendengaran dan konsentrasi itu, sebulan sekali pun, belum tentu ada.

Tentu saya bertanya, apa mereka almarhum dan almarhumah itu meninggal karena terpapar virus Corona?

Entahlah.

Tidak ada yang bisa memastikan. Akan tetapi, kebanyakan yang meninggal itu tidak terdata sebagai ODP atau PDP.

Saya ke luar rumah. Kerasa sekali mencekam dan suasana muram di kehidupan kita sekarang. Sederet kabar kematian, membuat terkesiap. Girab-girab.

Apa makna girab-girab?

Kalau kita cari di vokabuler kata baku, mungkin lawan dari kata sorak-sorai. Namun, girab-girab itu bukan sebatas rasa, melainkan juga sikap dan laku. Di atas rasa keterkejutan atas suara mengagetkan. Contohnya, kita mau salat malam, habis wudhu di padasan sumur belakang, mendadak ada orang pakai mukena tepat berayun di bawah pohon sawo. Keterkejutan yang membuat teriak ketakutan dan lari tunggang langgang itulah, arti girab-girab.

Sama, ketika saya melintasi lampu merah pertigaan Cut Mutia, jam 23.55, kaget luar biasa. Sebab, ada suara mengejutkan di tengah kesunyian dan gelap lampu kuning. Ternyata, begitu serius didengarkan, himbauan walikota tentang waspada Corona. Banyak makan buah dan sayur, salah satu sarannya. Dan saya, baru sadar, kalau sudah lama tidak makan buah-buahan. Selain mahal, susah membeli di mana dalam kondisi ketidakpastian tentang peta dimana lokasi virus Corona berada.

Baca Juga :  DPT; Dulu di Bully, Sekarang di Pedomani

Sementara, tanpa ancaman Convid saja, tubuh sudah sering lemah dan terjangkit flu. Hidung sering ingusan dan bersin-bersin. Suara imbauan itu, di tengah malam yang sunyi, membuat saya girab-girab. Tentang bagaimana menyongsong hari depan.

Siang hari, coba merasakan jalanan, cuaca benar-benar menunjukkan, kemuramannya. Gerah, sekaligus berwajah penuh kekhawatiran. Cermati muka warga. Ada yang tetap cuek, ada yang sangat ketakutan. Dan saya merasakannya, lebih pada kata yang tepat yakni, girab-girab.

Kulminasi ketakutan dan kengerian itulah, defenisi girab-girab.

Lalu, ketika saya mulai merasakan ketersiksaan di rumah. Dimana kompor tak pernah mati, semua ruangan jadi arena bermain dan tak pernah ada jeda untuk tidur tanpa gangguan. Pintu kamar mandi sudah jebol, wadah beras mulai kosong, kulkas hanya berisi air es, ekspresi yang tepat adalah, girab-girab.

Saya ke luar mau antre pembagian sembako. Lalu di jalan ada yang berboncengan sepeda motor, duduk saling dekat tanpa masker. Ada yang pakai masker, namun menggelantung di leher. Saya melihat semuanya. Dan merasakan, kemuraman sejarah. Sesuatu yang penuh ketakutan namun dipaksa untuk dihadapi dengan perlawanan. Mungkin tepatnya, keterpaksaan. Mendadak, saya girab-girab melihat bagaimana orang berebut dalam antrean pasar murah dan pembagian sembako itu, membuat urung dan putar arah, balik ke rumah. Kembali pada permainan, pada rutinitas yang lebih layak disebut, “neraka baru” dari pergantian makna “rumahku surgaku”.

Baca Juga :  Wujudkan Pemilu Berkualitas dengan Penyelenggara Pemilu yang Berintegritas

Di tengah suasana seperti itu, tagihan hutang terus berdatangan, beaya daftar ulang juga dikirimkan, sms tawaran pinjaman mudah dan judi togel juga terus masuk, dan saya girab-girab, begitu dapat sms; “Selamat, Anda beruntung, menang undian Rp.100 juta.”

Meski saya tahu itu penipuan, saya tetap membalas dengan gembira. “Alhamdulillah. Berkah Ramadan. Ini no rekening saya.”

Lalu nomor-nomor asing terus menelepon. Akhirnya saya angkat. Manis sekali kalimat pembukanya. “Selamat Bapak, nomor Bapak menang undian seratus juta.”

Tak tahan setengah girab-girab saya menyentak. “Asu. Dancuk jaran. Zaman susah begini masih sibuk nipu. Bajingan.”

Tut..tut…panggilan berakhir.

Mendadak, tubuh saya didorong dari belakang.

“La takdob walakaljannah. Jangan suka marah bagimu surga.” Sambil tertawa-tawa, dua anak kecil membuat saya girab-girab. Nyaris njlungub. (*)

Penulis : Endri Y

Berita Terkait

Aklamasi Musda dan Rakerda PFI 2025 Tetapkan Juniardi Sebagai Ketua PFI Lampung Untuk 2026-2029
Adu Kuat Pemilihan Ketua IJP : Pembina VS KSB
Wujudkan Pemilu Berkualitas dengan Penyelenggara Pemilu yang Berintegritas
Alasan Fundamental Memilih RMD
KPU Lantik 55 PPK Pemilu 2024 Pesisir Barat, Sandicha PPK termuda Berusia 22 Tahun
Menakar Integritas KPK Terkait Kasus Aom
#SaveBPS! Buruk Wajah Cermin Dibelah
DPT (C6) adalah Tiket?
Berita ini 93 kali dibaca

Berita Terkait

Minggu, 2 November 2025 - 14:35 WIB

Aklamasi Musda dan Rakerda PFI 2025 Tetapkan Juniardi Sebagai Ketua PFI Lampung Untuk 2026-2029

Kamis, 24 April 2025 - 21:26 WIB

Adu Kuat Pemilihan Ketua IJP : Pembina VS KSB

Kamis, 19 September 2024 - 13:34 WIB

Wujudkan Pemilu Berkualitas dengan Penyelenggara Pemilu yang Berintegritas

Selasa, 21 Mei 2024 - 14:29 WIB

Alasan Fundamental Memilih RMD

Rabu, 4 Januari 2023 - 14:23 WIB

KPU Lantik 55 PPK Pemilu 2024 Pesisir Barat, Sandicha PPK termuda Berusia 22 Tahun

Berita Terbaru

Pemerintah

Lampung Bangkit, Torehkan 8 Emas di POPNAS 2025

Senin, 10 Nov 2025 - 18:46 WIB