“Rungsing amat sih, mbak? Dinikmati dan disyukuri ajalah kondisi ini! Dibalik masalah pasti ada hikmah! Yakini aja itu!” kata Gilang, sore tadi, melihat Dinda yang gupek kepengen jalan-jalan sore.
“BETE tahu di rumah melulu itu, dek! Sesekali keluar rumah kan nggak masalah sih? Lagian tetep pakai masker ini!” sahut Dinda dengan wajah mrengut.
“Ya memang nggak apa-apa sesekali keluar rumah, mbak! Kalau ada perlu-perlu bener! Kalau cuma mau ngider-ngider aja, ngangin sore-sore, ya nggak pas-lah! Baikan tetep di rumah!”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Jadi adek nggak mau nih nemenin dan jagain mbak? Inget pesen buya; adek itu harus jagain mbak dan mama!” tukas Dinda.
“Justru adek nggak setuju mbak keluar rumah ini karena adek jagain mbak! Adek jalanin pesen buya! Jangan salah tanggep makanya! Dan sebenernya, dengan kondisi sekarang ini, yang ngewajibin kita beraktivitas apapun dari rumah, kita jadi lebih memaknai falsafah saling menjaga itu, mbak!” ujar Gilang.
“Maksudnya gimana, dek?!” tanya Dinda.
“Hikmah dari keputusan pemerintah buat motong gerakan sebaran virus COVID-19 yang ngewajibin kita semua berada di rumah, mengajarkan pada kita betapa pentingnya memahami hakekat sejagaan itu!”
“Ngomongnya yang saklek-saklek aja, dek! Nggak usah berfilsafat!” sela Dinda.
“Gini lo, mbak! Dengan kita terus bersatu di rumah, ngerjain apapun urusan dari rumah, ikatan batin sesama penghuni rumah makin kuat! Kita makin tahu karakter masing-masing! Makin paham dengan pola pikir masing-masing! Dan banyak lagi lainnya! Dan akhirnya tumbuh ikatan batin yang kuat untuk terus sejagaan ke depannya!” urai Gilang.
“Namanya orang serumah, apalagi kakak adek, ya pasti sejagaan-lah, dek! Itu sudah hukum alamnya!” kata Dinda.
“Nggak gitu juga kali, mbak! Kita sering denger cerita; kakak adek nggak akur! Nggak saling dukung, boro-boro sejagaan! Malahan saling potong dan ngejatuhin! Nurut adek, itu karena kurang kuatnya ikatan batin mereka! Walau dilahirkan dari ibu yang sama dan punya bapak yang sama!” tanggap Gilang.
“Jadi nurut adek, sejagaan itu lahirnya dari mana?!” tanya Dinda.
“Dari ketulusan hati, mbak! Dari penerimaan masing-masing yang nothing to lose! Bukan karena ikatan darah, otomatis bisa tumbuh komitmen sejagaan itu!” tutur Gilang.
“Tapi faktanya, yang dulu keliatan sejagaan, pas kondisi kita berubah, berubah pula mereka! Menjauh bahkan sok nggak kenal! Sejagaan apaan itu?!” ketus Dinda.
“Mbak jangan lupa, setiap situasi dan kondisi itu adalah ujian! Cobaan buat kita! Tangguh nggak kita ngadepinnya! Lulus nggak kita pada akhirnya! Gitu juga dengan sejagaan! Itu juga ujian! Kalau berubah dari perilaku sejagaan karena kondisi yang berubah, itu artinya ya hanya setipis itulah komitmennya! Kita bersyukur dengan dirumahkan kayak gini, karena banyak pelajaran kehidupan yang bisa dipetik!” ujar Gilang.
“Kalau nurut mbak, yang bisa sejagaan itu ya yang punya ikatan darah dan orang-orang baik yang dipertemukan dengan kita dalam kondisi sama-sama terpuruk! Sama-sama senasib sepenanggungan! Kalau orang yang ngerubung saat kondisi kita sedang jaya, nggak bakal bisa sejagaan! Mereka-mereka itulah para pecundang! Dan orang yang kayak gini, lebih banyak keliaran! Sejagaan itu adalah jaga hati, jaga diri dan jaga orang-orang yang tulus menyayangi kita! Diluar itu, nggak usah dipikirin!” kata Dinda sambil memeluk Gilang dan mengajaknya memetik buah jambu di halaman belakang rumah. (*)
Tulisan Ini Sudah Disajikan Juga di HarianFokus.com