rEposisi.com -KEPALA suku “Rambut Merah”, sebutan untuk pemimpin Iran 1729 sampai 1747. Setelah berhasil merebut kekuasaan, menghidupkan tradisi pra-Safawi, karena kejam pada rakyat, Nadir Syah (Nadir Khan) dibunuh sendiri oleh pasukan, sesama warga dari sukunya. Demikian ditulis Ernest Tucker dalam tesisnya.
PERIODE itu, kekuasaan dan prinsip legitimiasi suku-suku, mulai berbentuk dewan. Dinasti Safawi yang syiah, ditinggalkan rakyat karena dianggap banyak berprilaku amoral dan melakukan yang munkar. Keluarga istana menjadi pemicu runtuhnya otoritas politik, dan kemudian, pasca hancurnya kuasa dinasti, segera menyusul negara ikut porak-poranda, menuju perpecahan dan kehancuran.
Nadir Syah atawa Nadir Bey? Bagi kita, pecinta sinetron tentu akan menarik. Jika gambaran Nadir Syah, disebut rambut merah. Nadir Bey, lelaki tua yang kial, bisu, dan semua rambut serta janggutnya, putih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perspektif yang sama, saat saya melihat film “13 Assassins”. Yang menggambarkan, Shogun jahat. Berlatih memanah dengan sasaran para pembantunya, satu keluarga, anak-anak kecil juga, mati jadi korban. Sasaran untuk bidikan anak panah, langsung manusia. Yang mati, kepalanya ditendang-tendang, menggelinding serupa bola.
Pejabat yang berdiri, pipis di mangkok yang dipegangi seorang pembantu, jongkok di bawah, menahan nafas dan tetap tertunduk. Kalau dia memperkosa perempuan desa, prajurit menjaga dengan membentangkan kain sebagai tirai.
Jalannya penguasa jahat itu melenggang dan enteng-enteng saja saat berkata. Leher orang desa, seperti kera. Keras. Harus dilenturkan dengan sering dipenggal menggunakan pedang. Agar tahu aturan dan tahu batasan. Samurai harus berani memotong leher warga. Budak tak boleh mendongak di hadapan kaum bangsawan.
Harus bersimpuh, tertunduk. Atau dipenggal. Samurai harus menjaga kehormatan dengan melayani tuan. Tanpa batasan, tanpa penyangkalan.
Namun demikian, potret kekejaman penguasa yang semena-mena, di daratan dan peradaban bangsa mana pun, pasti mendapat perlawanan. Kebanyakan tirani, pasti berakhir tragis. Kebanyakan penguasa kejam, mendapat pemberontakan dan berakhir dengan kemalangan.
Pemerintahan sebuah negara pasti melekat pada diri pribadi sang pemimpinnya. Kepribadian seorang pemimpin, apalagi kepala negara, tak boleh terlihat lemah. Juga dilarang terlihat kejam. Kalau lemah, dihantui ketakutan bahkan oleh anak sulungnya, akan dibunuh dan dibantai anak buahnya. Tragis seperti akhir hayat Nadir Syah. Ketika kejam, akan dipenggal di tengah jalan, seperti Matsudaira Naritsugu.
Akan tetapi, itu juga bukan legitimasi dan pembenaran atas ironi akhir semua kekuasaan. Rezim suatu era bukan dinilai bagaimana catatan jatuh atau terbunuh. Yaitu, apa yang sudah dikerjakan ketika memimpin. Lemah atau kejam. Sebab, ada pemimpin baik yang dipenggal di tengah jalan atau dikhianati para pembantunya.
Semua hanya soal pilihan sikap saja.
Salah satu kutipan kalimat menarik, saat ini, zaman ketika Presiden Amerika menyebut Virus Cina guna menyebut Covid-19 yang telah mengguncang dunia yakni, meme dari “Preman Pensiun”. Yang terkenal itu. Ya. Semua akan luhut pada waktunya.
Padahal, tak ada dalam sejarah, pemain utama terlihat dan dikenal secara publik. Sejahat-jahatnya Marco, Samuel, Jorris, atau Garo, dikenal luas karena jahat itu hakekatnya, hanya anjing penjaga “Sang Tuan” yang pasti bersembunyi, tak dikenali. Apalagi terpublis dan bisa diekspos secara luas.
Sama kiranya dengan zaman, ketika Nadir Syah mulai naik daun sebagai komandan prajurit yang mengalahkan Ghilzaiy Afghanistan.
Rambut Merah itu, hanya pelayan dan sepenuhnya dikendalikan Tahmasp II.(*)
Penulis : Endri Y