OLEH : Endri Y
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KALAU kita menelisik kekuasaan Dinasti Qajar, sekitar 1779 sampai 1925, menemukan semacam bukti kegagalan sebuah pemerintahan.
Jauh, sebelum ada rumus “negara gagal”.
Kerajaan dan daerah kekuasaan Dinasti Qajar, terpecah-pecah dalam banyak suku, etnis, dan tak pernah berhasil membuat organisasi militer serta birokrasi yang efektif serta kuat.
Di bawah Dinasti Qajar, negara membusuk, salah kelola, tidak amanat dan dipimpin orang-orang tanpa kecakapan.
Bahkan dengan kebijakan yang otoriter dan tirani sekali pun, kualitas pemimpin terlihat seperti dalam panggung drama. Hanya dianggap lelucon. Rakyat mulai merasakan berdiri di jurang kehancuran. Dicekam keputusasaan. Keamanan dan proteksi terhadap lapangan kerja, harta, dan nyawa, diperjuangkan masyarakat sendiri, tanpa kehadiran pemerintah.
Adalah Raja Fath Ali Syah, berkuasa sejak 1779-1834. Dia dianggap, memerintah dengan sangat buruk, bahkan tercatat, tak memenuhi syarat sebagai sebuah kerajaan patrimonial.
Dia juga dianggap memerintah seperti di daerah dengan properti yang disewa. Tanpa tanggung jawab dan kecintaan sama sekali. Tanpa kecakapan dan kemampuan. Tanpa rasa malu dan semakin hari semakin menunjukkan, seperti orang yang bingung. Tak berpendirian dan kosong. Suwung.
BACA JUGA :
Negara dengan wilayah kekuasaan yang luas, akibat lemah dan tidak cakap dalam kepemimpinan oleh Dinasti Qajar, membuat kerajaan itu terlupakan. Hilang dalam ingatan, tenggelam oleh sejarah dan kekalahan-kekalahan.
Pelajaran penting dari Dinasti Qajar, jangan pernah main-main mengambil jabatan dan kesiapan mengurus urusan publik jika tak punya kemampuan memimpin. Selain membuat aib dan sejarah kelam, juga menyengsarakan rakyat.
Lebih buruk lagi, tampil memimpin tapi ketika hadir di ruang publik, terlihat suwung. (*)