BERITA menarik beberapa hari ini, kebanyakan membahas soal Korea Utara. Sebab, diktator Kim Jong Un dikabarkan meninggal dan bakal digantikan Kim Yo Jong, adik perempuannya.
Diprediksi, tak kalah bengis dan kejam.
Bahkan, dianggap bakal lebih tiran dan otoriter dibanding kakaknya yang gendut dan perokok berat itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Melihat wajah Kim Yo Jong di foto-foto itu, mengingatkan pada tokoh dalam film serial, Nikita. Berkisah tentang agen, dinas rahasia dari tentara khusus, milik Amerika. Yang proses rekrutmen anggotanya dari anak-anak muda berbakat namun terjebak kriminalitas, lalu masuk dalam skema kematian yang direncanakan. Sehingga setelah sukses dilatih jadi agen, hidup dengan identitas baru. Palsu. Sekaligus bebas hukum. Tak tersentuh.
Sementara, jika gagal jadi agen, dibunuh atau mati sewaktu berlatih, tanpa tuntutan. Memang sudah terdata meninggal.
Nikita yang wajahnya mirip Kim Yo Jong itu, merupakan salah satu agen yang membelot, menghancurkan lembaga ilegal tempatnya dilatih jadi pembunuh profesional.
Di akhir perjuangannya, yang sampai seri ke-5, sukses memainkan drama membunuh Presiden AS, Nikita kemudian dinobatkan jadi pahlawan nasional, melawan para penjahat elit. Menjaga perdamaian dunia. Bersama agen CIA dan mantan Devision.
Bagaimana jika Nikita itu Kim Yo Jong?
Kenapa setelah menyebar info meninggalnya Kim Jong Un, langsung muncul nama Kim Yo Jong dan sekarang, dikabarkan Kim Jong Un masih hidup. Benarkah Kim Jong Un, anak gundik dan jadi pemimpin otoriter yang ditakuti dunia itu ada kembarannya? Atau masih belum mati?
Pertanyaan itu, tidak menarik. Yang menarik adalah soal kepemimpinannya.
Memang, seolah menakutkan punya pemimpin tiran, sadis dan terkenal sering memberi hukuman mati. Akan tetapi, kalau diperbandingkan punya pemimpin lemah dan penakut, sepanjang otoriter bermakna, berani menjaga kedaulatan dan berpihak pada rakyat, rasanya jauh lebih baik.
Dibanding pemimpin yang terlihat merakyat namun bagi sembako di masa krisis pangan dengan cara dilempar dari mobil, rakyat miskin berbaris di pinggir jalan. Sungguh, cermin kolonialisme modern. Rezim yang ironis pada era ultramodern. Level kepala negara sibuk pada bagi paket sembako yang mestinya dikerjakan pemerintah level RT.
Alih-alih berani pada negara luar dan adikuasa model Korea Utara yang untuk membebaskan tahanan harus dijemput pemimpinnya.
Kita seolah punya pemimpin yang kebingungan hanya untuk memutuskan kebijakan yang berpihak rakyat atau menjaga iklim kondusif bagi investor asing.
Kita meyakini pada prinsipnya, setiap negara punya pemimpin yang baik dan pasti berpihak bagi rakyat. Hanya soal bagaimana menjaga kepercayaan itu.
Drama di film Nikita adalah contoh konkrit sebuah sisi kemanusiaan, pasti tersentuh kesadaran dan akhirnya, berpihak pada “Yang Benar”.
Hatta bagi seorang pembunuh berdarah dingin sekali pun. Nikita, Michael, Alexandra Udinov contohnya. Termasuk, Melinda yang punya saudara kembar dan terus berkonflik pada sisi baik buruk dari profesi intelejen.
Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara yang ditakuti, tauladan bagaimana menegakkan kesetiaan pegawai dan perwira bagi negara sekaligus upaya menjaga kekuasaan dinasti. Membunuh para pengkhianat, sepanjang demi keuntungan masyarakat luas, mungkin dipermaklumkan. Termasuk pamannya sendiri. Hukuman mati dan info sadisme itu, seolah bebas dilakukan, tanpa ada yang berani menyerang moralitas, apalagi sampai kudeta.
Kita memang tidak butuh pemimpin bengis dan tiran. Akan tetapi, terkadang negara butuh pemimpin yang berani mengambil keputusan untuk menjaga rakyat dan kedaulatan. Salah satunya, menghukum pengkhianat. Minimal menyopot jabatan dan pangkatnya disertai, menyita asset dan kekayaannya.
Sebab, jika tidak dimiskinkan, nanti bisa bikin partai politik baru. Karena kekayaannya masih banyak, bisa menang pemilu dan berkuasa lagi. Lalu, berkhianat lagi.
Kalau di Indonesia seperti, ehem. Semua juga tahu. (*)
Penulis: Endri Y